Kerjaan = Jurusan (?)
Apakah kerjaan harus sejalan dengan jurusan? Kali ini aku memulai pembahasan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering terdengar di telingaku, dan dari semua pertanyaan yang aku kumpulkan itu, intinya adalah 3 pertanyaan berikut;
Apakah kerjaan yang kita miliki harus sesuai dengan jurusan yang kita tekuni saat kita kuliah dulu?
Apakah bekerja hanya bisa kita lakukan setelah kita lulus kuliah aja?
Apakah seseorang itu harus punya pekerjaan yang jelas, lantas dia bisa disebut kalau dia punya pekerjaan?
Ditambah lagi rasa kepo dari orang-orang sekitar yang mengaitkan antara kuliah dan kerjaan.
“Nanti kalau udah lulus, mau kerja apa?”
Nggak ada peraturan khusus yang mengharuskan dimana kita harus melakukan sebuah pekerjaan yang memang selaras dengan pendidikan kita.
Apakah kerjaan yang kita miliki harus sesuai dengan jurusan yang kita tekuni saat kita kuliah dulu?
Apakah bekerja hanya bisa kita lakukan setelah kita lulus kuliah aja?
Apakah seseorang itu harus punya pekerjaan yang jelas, lantas dia bisa disebut kalau dia punya pekerjaan?
Ditambah lagi rasa kepo dari orang-orang sekitar yang mengaitkan antara kuliah dan kerjaan.
“Nanti kalau udah lulus, mau kerja apa?”
“Kenapa kuliah PAI, emang mau ngajar mulu
seumur hidup?”
“Kalau kerjaannya nggak sesuai sama jurusan
kita, berarti kita salah jurusan?”
Kita mulai pembahasan dari pertanyaan pertama,
apakah pekerjaan kita nanti itu harus sejalan dengan apa yang kita tekuni
selama masa perkuliahan berlangsung? Nah, ini yang sering banget terjadi di
kalangan kita nih. Kuliahnya A, eh kerjaannya B. Kuliahnya C, eh
kerjaannya D. Dan seterusnya.
Basically, all people in this world can do everything that they wanna do. They have a reason for doing it.
Nggak ada peraturan khusus yang mengharuskan dimana kita harus melakukan sebuah pekerjaan yang memang selaras dengan pendidikan kita.
Oke. Jadi yang aku lihat di sini permasalahan
bukan hanya sekadar “keterkaitan” antara jurusan kuliah dan dunia kerja kita
nantinya. Tapi permasalahan di sini jauh lebih kompleks dari itu.
Setiap orang pasti punya pilihan, kan dalam
hidupnya? Setiap orang berhak untuk memilih apa yang mau dia tekuni, apa yang
mau dia seriusin, dan apa yang sekiranya bisa dia pelajari tanpa harus ada
seorang tutor yang mengajadi dia, alias dia bisa belajar sendiri atau otodidak.
Biasanya, orang kalau mau kuliah
pertimbangannya adalah “Gue mau jadi apa nih nanti?”, “Kelas kuliah gue bakal
kerja dimana ya?”, atau “Jurusan mana sih yang lebih gampang nyari kerjaan
nantinya?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Ada beberapa jurusan kuliah yang sebetulnya
bisa kamu pelajari sendiri secara otodidak, kamu hanya perlu lebih sering
berlatih aja, apalagi sekarang jamannya udah gampang banget kita bisa belajar
melalui apa aja, lewat apa aja, mempelajari apa aja, bahkan dimana aja dan
kapan aja. Sabeb. Suka-suka kalian lah mau belajar apaan.
Tapi bukan berarti aku menyampaikan bahwa
kuliah itu nggak penting karna kita udah bisa belajar melalui blog, YouTube, online
course, dan lain-lain ya. Sama sekali nggak gitu maksudku. Aku di sini mau
menyampaikan bahwa sebetulnya kita sebagai mahasiswa sangat bisa mendapatkan sesuatu
lebih besar dari pada apa yang kita dapatkan di bangku perkuliahan. Atau bisa
juga dengan terlibat di berbagai kegiatan lain, kayak organisasi, ekskul, dan
lain-lain.
Contoh, aku kuliah S1 dan S2 dengan jurusan yang
sama, yaitu PAI. Banyak banget orang yang ngece dengan bilang, “Lo mau
jadi ustajah seumur idup lo?”, “Ha? Kuliah PAI? Buat apa? Bukannya lo udah
belajar itu waktu di pesantren?”, “Gak bosen apa lo belajar agama mulu?”, “Lo
nggak tertarik untuk kuliah sains atau sosial gitu?", "Kenapa harus PAI?” bla bla bla...
Buat teman-teman yang udah kenal aku, pasti
kalian tau. Dibalik keberadaanku sebagai mahasiswa PAI, ada banyak banget
sesuatu yang aku upayakan untuk tercapai nantinya. Dan di samping keriweuhan
aku ngerjain tugas kampus apapun itu, aku berupaya semaksimal mungkin untuk
bisa meluangkan waktu buat belajar hal-hal lain yang nggak aku pelajari selama
di bangku perkuliahan.
Alhasil, aku kuliah PAI tapi outputku
nggak hanya sebatas apa yang didapat sama mahasiswa lulusan PAI pada umumnya. Dan
aku jadi lebih bisa melakukan banyak hal lain untuk masyarakat. Well,
apa yang kita lakukan untuk sekitar nggak melulu soal keterkaitan dengan
jurusan.
Banyak juga yang nanya, kuliah harus sesuai background
apa nggak? Jawabannya, nggak.
Aku termasuk orang yang kuliah nggak sesuai background.
Backgroundku sains. Waktu SMA aku mati-matian belajar supaya bisa lolos
ketika tes jurusan IPA, karna pada saat itu aku punya cita-cita untuk jadi
Arsitek. Tapi karna satu dan lain hal, pertimbangan-pertimbangan yang muncul
kala itu, dan sempat bersitegang dengan keluarga, maka akhirnya aku ambil
jurusan PAI.
Tapi saat itu, aku nggak lantas pasrah dan
berpikiran bahwa, “Yaudahlah gue bakal jadi guru agama seumur hidup gue.” Asli,
ya.. nggak ada sama sekali pikiran kayak gitu, justru pikiranku saat itu
adalah, “Okelah. Nggak masalah gue kuliah jurusan PAI, tapi gue bakal buktiin
kalau anak-anak PAI itu nggak cuma stuck sebagai guru agama, tapi juga bisa
berbagai hal lainnya.”
Aku, anak PAI yang bisa jadi guru pramuka. Bisa
juga jadi guru paskibra. Padahal di perkuliahanku nggak ada kelas belajar kepramukaan
dan kepaskibraan. Hehe
Yang kedua, apakah bekerja hanya bisa kita
lakukan setelah kita lulus kuliah aja?
Untuk menjawab pertanyaan kedua ini aku
langsung bilang, NO!!!!!!! Kenapa? Karna selama kuliah pun kita bisa sambil
kerja selama kita masih bisa lebih memprioritaskan urusan kuliah dibanding
urusan kerjaan, bukan sebaliknya.
Terlebih, dunia perkuliahan itu fleksibel. Nggak membuat mahasiswanya terikat. Di perkuliahan nggak ada aturan yang menyebutkan bahwa semua
mahasiswa yang berkuliah di kampus tersebut haram hukumnya jika memiliki
pekerjaan di luar waktu kuliah. Kalau nggak percaya, boleh cari sampai ke semua
kampus di dunia ini. Aku bisa pastikan kalian nggak bakal nemuin kampus itu.
Mahasiswa, kuliah sambil jualan. Buanyak banget!
Mahasiswa, kuliah sambil jualan. Buanyak banget!
Mahasiswa, kuliah sambil kerja part time.
Buanyak buanget!
Apalagi mereka yang memang harus kerja, demi dapat
uang untuk bayar kuliahnya. Banyak banget mahasiswa yang kuliah sambil kerja
sana sini. Dan yang kayak gitu justru harus kita apresiasi. Di samping komitmen
dia sebagai mahasiswa di kampus, dia juga harus berkomitmen dalam kerjaannya. Khususnya
mereka yang kerja di tempat orang lain, udah pasti ada beberapa poin yang harus
ditaati. Misal, nggak boleh telat dateng ke tempat kerja, nggak boleh
kebanyakan izin karna urusan pribadi, nggak boleh bolos kerja, dan lain-lain.
Keren banget mereka yang udah berani ambil
resiko kuliah sambil kerja. Aku ngerti banget, sih seberapa besar resiko yang
harus mereka hadapi, bahkan sering kali resiko yang muncul itu di luar ekspektasi dia sendiri. Karna aku
termasuk yang seperti mereka. Aku masuk dunia kerja dengan segala tanggung
jawab kuliahku. Saat itu aku masih S1 semester 3.
Sebagai anak pertama dari 4 bersaudara, setelah
lulus dari pesantren aku merasa kalau aku nggak mungkin membebani biaya hidupku
seutuhnya ke orangtua. Dan memang aku punya prinsip untuk setidaknya aku punya
uang sendiri yang cukup untuk biaya sehari-hari. Supaya nggak bener-bener full
minta dari kantong orangtua.
Kalau aja saat itu aku egois, bagaimana kabar adik-adikku yang saat itu masih usia TK dan SD? Perjalanan pendidikan mereka
masih sangat panjang. Nggak kebayang deh kalau aku yang udah kuliah juga masih ikut
ngerepotin orangtua.
It’s ok. Nggak masalah aku kuliah sambil kerja. Walau kadang ada badai dadakan di
tempat kerjaku yang mengakibatkan aku nggak bisa berangkat ke kampus, dan karna
kehadirannya kurang jadi nilaiku harus turun. Nggak apa-apa. Karna masa depan
nggak melulu bergantung sama IPK yang tertulis di transkip nilai, kok.
Kemudian pertanyaan ketiga yang sering muncul
di kalangan anak kuliahan yang udah lulus yaitu apakah seseorang itu harus
punya pekerjaan yang jelas, lantas dia bisa disebut kalau dia punya pekerjaan?
Kalau membahas soal ini, mindset lama
yang sudah tertanam dalam pikiran orang-orang setiap kali mendengar kata “kerja”,
itu yang ada di bayanganya selalu orang lagi duduk di sebuah ruangan, dengan
laptop di hadapannya, dan berjam-jam dia hanya duduk melototin si layar laptop
itu.
Padahal... kerja nggak melulu diartikan
seperti itu.
Apalagi di masa sekarang yang membuat
seseorang bisa kerja dari mana aja, kapan aja, dan di mana aja. Pekerjaan kayak
gitu disebut sebagai pekerjaan freelance. Mereka, para pekerja freelance
nggak terikat dengan suat perusahaan atau lembaga yang mengharuskannya untuk
masuk kantor jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore.
Dan biasanya incomenya lebih banyak. Karna
yang dihitung bukan berapa jam mereka bekerja, tapi berapa karya yang mereka
hasilkan. Dan pekerjaan dengan mengandalkan otak kreativitas ini akan dihargai
lebih mahal, karena mereka menjual sebuah karya, yang artinya orang harus
membayar otak kreatif mereka juga, bukan hanya sekadar membayar karyanya saja.
Misal, para pelukis. Mereka kerjanya dimana? Para pelukis membuat saat membuat karya dengan berdiam diri di suatu tempat yang
sekiranya menurut mereka tempat itu bisa melahirkan banyak inspirasi-inspirasi
dalam otaknya. Lalu, setelah jadi, hasil karyanya kemudian dibawa ke sebuah
galeri/pameran lukisan untuk dipasarkan. Biasanya, penjualan karya mereka dilakukan
dengan sistem lelang yang artinya siapa yang berani membayar lebih besar, maka
karya itu akan menjadi miliknya.
Kenapa demikian? Seperti yang aku bilang
sebelumnya, bahwa si pembeli tidak hanya membayar hasil karya dari seorang
seniman, tapi juga membayar otak kreatif yang digunakan seniman itu untuk
membuat sebuah karya. Yang mana harga otak kreatifnya jauh lebih mahal daripada
hasil karyanya.
Semoga kedepannya nggak ada lagi orang-orang
yang “meremehkan” mereka yang bekerja nggak sesuai jurusannya, mereka yang
harus kuliah sambil bekerja, dan mereka yang tidak bekerja di sebuah lembaga
atau perusahaan besar pada umumnya.
Sekian.
Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment